Transportasi laut di Kalimantan, berbanding lurus dengan transportasi daratnya. Sengsara dan bikin gue pengin bunuh diri.
Perjalanan laut itu gue alami saat pulang dari Banjarmasin pas tahun 2013-an, Kalimantan Selatan, menuju Surabaya. Mari buang bayangan naik kapal Ferry yang besar, mewah dan nyaman. Untuk backpacker gembel semacam gue, kenyamanan adalah hal kesekian. Maka gue pilihlah kapal laut sebagai transportasi pulang menuju Jawa. Murah, tapi bikin marah-marah.
KM. Kumala adalah nama dari kapal laut itu. Harga untuk tiket sekali perjalanan adalah Rp150.000, harga yang cukup murah untuk merasakan pengalaman terombang-ambing di tengah laut selama satu hari. Lana dan Dikun, temen-temen gue yang nganterin gue keliling selama di Kalimantan Selatan nganterin gue untuk terakhir kalinya. Mereka melepas lelaki ganteng ini untuk kemudian berlayar dari Kalimantan menuju Jawa.
Langit mulai berwarna jingga ketika gue bersiap masuk ke dalam kapal KM. Kumala. Ratusan manusia saling berjejal ketika suara klakson kapal mulai berbunyi kencang, tanda akan segera melaut. “Lan, Kun, gue pamit dulu, yah… makasih banget buat semuanya,” ucap gue untuk terakhir kalinya kepada Lana dan Dikun. Ucapan itu lebih mirip pasangan mau putus daripada salam perpisahan kepada sahabat.
“Iya, Dis. Jangan nyesel yah nanti kalo udah naik kapal,” kata Dikun terkekeh, dilanjut Lana yang nyenggol Dikun pake sikutnya.
Anjing, pasti ada sesuatu yang aneh nih nanti di dalem kapal, kata gue dalam hati. Gue cuma bisa nyengir.
Gue pun cipika-cipiki sama Lana dan Dikun sebelum masuk kapal. Bye!
Baru aja mengayunkan langkah pertama masuk kapal, gue langsung ditabrak sama penjual asongan. Saking kacaunya lalu lintas di sana, para penumpang yang mau masuk saling tubrukan sama penjual asongan yang mau keluar dari kapal. Kendaraan penumpang, mulai dari sepeda, motor, mobil pribadi, truk, bis, sukhoi, buldozer, kereta kuda, semua berjejal rapat di bagian bawah kapal.
Ingatan gue langsung terbang ke masa-masa gue pas lagi SD.
Dulu, bokap sering ngajak gue pulang kampung ke Palembang. Mengendarai mobil dari Bandung menuju pelabuhan Merak, dilanjutkan nyebrang ke Lampung menggunakan kapal Ferry. Waktu itu, kapal laut yang gue pake sama bokap lumayan bagus dan bersih. Perjalanannya pun cuma memakan waktu beberapa jam saja.
Berbeda dengan apa yang ada di hadapan gue sekarang. Awal gue naik ke deck penumpang, puluhan orang telah tergeletak di mana-mana. Bukan, mereka bukan mati atau pingsan. Karena saking penuhnya, para penumpang menggunakan koridor kapal untuk beristirahat dan selonjoran.
Keadaan para penumpang yang berada di dalam kapal tidak berbeda jauh. Jajaran kursi sofa sudah terisi penuh dengan orang-orang yang tidur dan duduk selonjoran. Gak ada kursi kosong. Ini bukan kapal laut. Ini pasar, keluh gue dalam hati. Sama sekali gak ada jalan buat gue ngelangkah gara-gara puluhan manusia menjejali tempat ini.
Karena saking gedenya kapal laut KM. Kumala, si pengelola nggak ngebatasin penumpang yang ingin naik kapal. Alhasil, seperti ini lah kondisinya; serakan sampah di mana-mana, ratusan orang bejubel menuhin segala tempat. Di ruang duduk, ruang tidur, koridor, tangga, bahkan ada yang sampe diem di toilet gara-gara gak kebagian tempat. Gue mulai stres.
Gue muterin kapal sambil gendong tas backpacksegede dosa elu, dan nyari lapak yang bisa gue pake buat istirahat. Hasilnya nihil. Sejam kapal sudah melaut, sementara gue masih jalan bolak-balik nyari tempat tidur. Batin gue teriak, BUNUH SAJA AKU, MAAAAS... BUNUH AKUUUUUUUU. BERI AKU RACUUUN!! BIARKAN AKU MATIIII! Bentar lagi gue gila.
Singkat cerita, akhirnya gue nemu juga sepetak lahan yang bisa dipake buat tiduran. Itu pun di belakang mesin kapal yang menderu berisik sepanjang perjalanan. Bodo amat, yang pasti gue capek dan pengin tidur. Suara berisik mesin doang gak akan bisa menghalangi gue buat tidur.
Pukul 9 malam, gue dibangunkan oleh suara pengumuman dari speaker yang bilang kalo kafetaria sudah dibuka, dan penumpang bisa ngambil nasi box yang sudah disiapkan. Ternyata, ketika gue masuk ke kafetaria, ratusan orang udah antri mau ngambil nasi box. Mampus, rame banget! Mau gak mau, gue harus ikutan ngantri sambil bawa backpackbareng abang-abang yang badannya bau minyak rem mobil truk. Gue pasrah.
Dari hasil ngantri selama kurang lebih 20 menit, yang gue dapatkan adalah satu buah box yang terbuat dari styrofom dan satu gelas plastik air mineral. Perlahan gue buka kotak nasi itu, pikiran gue udah kebayang seonggok nasi putih dengan sop Kimlo daging yang membangkitkan selera. Namun apa yang gue dapet jauh dari ekspetasi. Di box nasi gue cuma ada sedikit sekali nasi dengan sop Kimlo yang... cuma kuah doang. Malam itu gue resmi cuma makan nasi berkuah yang rasanya hambar. Kaya air putih dikasih bulu ketek kapten kapal.
Selesai makan, gue langsung tidur di lapak semula. Untunglah, sebagai manusia petualang, gue punya kemampuan beres-makan-langsung-tidur jauh lebih cepat di atas manusia kebanyakan. Kalo orang normal perlu bantal empuk dan selimut hangat buat tidur nyenyak, gue cuma butuh backpackdoang buat nyenderin kepala, dan tidur lah gue sampai siang keesokan harinya.
Suara teriakan membangunkan tidur nyenyak gue di belakang mesin kapal. Ternyata ada seorang perempuan yang lagi berantem sama pacarnya. Mereka saling teriak menggunakan bahasa daerah, gue kayak lagi ngeliat Srimulat pentas. Kapal penuh dengan bahasa Jawa medok.
Jam tangan gue udah nunjukin pukul 2 sore. Berarti ini waktunya buat pake jatah makan siang gue. Sekarang, gue gak berekspetasi tinggi sama makanan yang bakal gue dapet. Kebetulan menu makan siang hari ini adalah nasi dan ayam kecap–palingan gue cuma dapet nasi sama kecap. Gak ada ayamnya.
Sama seperti malam sebelumnya, antrian manusia-manusia sudah memenuhi kafetaria. Pemandangannya udah kayak tahanan penjara yang lagi ngambil jatah makanan. Setelah mendapat jatah makan siang, gue duduk lagi di tangga sebelah colokan, sambil nge-charge HP. Gue makan tanpa nafsu, soalnya yang gue dapet cuma nasi sama kuah kecap. Sesuai dengan dugaan gue.
Selagi makan, di sebelah gue duduk wanita paruh baya yang sedang telepon-teleponan. Gue mensinyalir dia adalah pembantu rumah tangga, dan suara lelaki di sebrang telepon adalah pacarnya.
“Mas, kamu lagi opo, toh?” tanya Si Mbak paruh baya ke lawan bicaranya.
“Lagi, diam di kontrakan aja nih, Dek,” balas si cowok.
“Loh, gak ngojek toh, Mas?”
“....”
Kenapa gue bisa tau percakapan mereka? Karena Si Mbak, ngobrol sambil di-loudspeaker! Apa coba motivasi dia melakukan itu? Pamer mesra-mesraan? Hah?!
“Mas, aku kangen tidur sama kamu,” tiba-tiba Si Mbak jadi porno.
“Iya, Dek, aku juga kangen. Kamu cepet pulang toh makanya.”
“Kangen yah megang toket aku… hihihi,” Si Mbak makin frontal. Gue keselek sendok.
“Iya, kalo kamu udah nyampe sini, kita main lagi, yoo...” kata Si Cowok dengan suaranya yang dibuat genit dan lambat pada kata “main”.
“Iya, Mas, Mas mau nelanjangin aku lagi, nih? Aku pasrah kok, Mas... hihihi....” Si Mbak juga gak kalah genit dan jijik. Sekarang gue keselek box styrofom.
Percakapan yang semakin frontal antara Si Mbak dan pacarnya yang tukang ojek, bikin gue makin gak selera buat makan. Gue buru-buru pergi dari sana, dan langsung balik lagi ke lapak gue buat tidur siang, sambil berharap percakapan yang gue denger tadi gak masuk di mimpi gue. Mimpi buruk!
Berita baiknya, perjalanan gue udah hampir sampai karena hape gue udah ada sinyal.
Gue tidur terus sepanjang perjalanan tanpa sadar kalo ternyata kapal udah sampai di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dengan tubuh penuh daki, perut keroncongan, badan pegel-pegel karena seharian tidur di lantai dan psikis gue yang terguncang akibat nguping obrolan mbak-mbak mesum, mengakhiri perjalanan laut yang mengerikan ini.
Sekarang, gue bebas. Bebas dari neraka yang mengambang di laut.
Konsekuensi. Menjadi seorang backpackermengharuskan kita untuk selalu memilih yang paling murah. Apa pun dan bagaimana pun itu. Harga gak pernah bohong. Ada uang kamu senang, gak ada uang kamu berang. Namun, semakin sulit perjalanan kita, maka akan semakin banyak juga pengalaman seru yang kita dapat.
Percayalah, setiap detik dari setiap langkah adalah sebuah cerita.
Jadi, lu pernah dapet pengalaman horor transportasi gimana pas backacker-an, sob?